×
Haramkah Orang Gagal Menjadi Pembicara?

Haramkah Orang Gagal Menjadi Pembicara?


Oleh: Ratna Juwita

Widyaiswara Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Tengah


Tempo hari ada temen yang  meminta saya menjadi narasumber tentang penulisan artikel terindex Scopus. Padahal temen saya tahu, saya bukan ahli Scopus. Sebaliknya, saya adalah orang sering patah hati karena ditolak reviewer. Untung tidak sampai gantung diri saya, gegara tuntutan lulus kuliah dan harus punya artikel yang minimal accepted di Jurnal Internasional berreputasi.

“Udahlah, Na. Ngomong aja apa adanya,” kata teman saya. “Gila lu. Bisa-bisa dipenggal kepala saya karena mempermalukan Lembaga,”balas saya sambil membayangkan wajah audien yang siap melempar sendalnya ke saya.

Apa boleh buat, saya terima permintaan teman saya tersebut. Tak lupa saya memberikan short CV kepada moderator untuk dibacakan sebelum saya paparan. Salah satu kalimat yang saya tulis di CV adalah pembicara berpengalaman ditolak banyak reviewer dalam jurnal terrindex Scopus.

Tak ayal, saat dibacakan CV saya, sebagian audien tertawa. Ada juga yang nyinyir. Bodo amat, saya sudah terlanjur basah di depan audien dan menyanggupi tugas nan berat ini.

“Anda saja gagal, kok mau ngajarin kami berhasil. Emang bisa?” kata salah satu audien. 

Biasanya, yang berbicara tentang Scopus adalah para profesor atau  dosen yang produktif menulis. Cuma yang menggelitik pikiran saya adalah “emang gak boleh ya orang gagal berbagi tentang kegagalannya agar orang lain tidak jatuh di tempat yang sama?. “Haram ya kalo orang yang merasa bodoh melakukan sesuatu, lalu menjelaskan ke temannya agar tidak mengalami hal yang sama?.

Mufanti, dkk., dalam bukunya Can I be a Public Speaker, mengatakan bahwa setidaknya ada tiga fungsi berbicara. Pertama, menyampaikan informasi. Kedua, menyampaikan pemikiran. Ketiga, mendebat argumen yang sudah ada. Nah, berarti tidak salah donk, kalo saya pengalaman kegagalan saya dalam menulis artikel terindex Scopus.

Lebih lanjut, Mufanti, dkk., menggarisbawahi bahwa salah satu hal yang penting adalah knowing your speech. Tidak dipungkiri bahwa orang yang gagal, pasti punya pemahaman yang mendalam terhadap pembicaraannya. Bagaimana tidak?. Cerita ditolak reviewer berkali-kali merupakan  cerita yang lebih berwarna ketimbang cerita tentang keberhasilan dalam sekali submit.

Kejadian ini juga mengingatkan saya pada prosesi wisuda yang selalu menunjuk mahasiswa terbaik untuk sambutan mewakili wisudawan. Sambutan itu memang selalu memesona untuk golongan tertentu. Tapi menyakitkan bagi golongan anti wisuda dini. Apa hebatnya kalo lulus tercepat dan IP tertinggi, sementara cetakannya memang pinter, rajin, dan tidak harus bekerja paruh waktu untuk membiayai kuliahnya?. 

Bagi sebagian orang yang IPK pas-pasan, aktif ngurusin organisasi, nyambi kerja paruh waktu atau ngamen untuk bayar kuliah, bisa wisuda saja sudah bagus. Sekali-kali bisa dicoba terobosan sambutan wakil wisudawan diambil dari mahasiswa-mahasiswa abadi di kampus. Pasti lebih seru dan berwarna cerita perjuangannya menyelesaikan studi. 

Satu lagi, saya juga inget momen yang membuat saya males datang ke acara reuni yaitu sambutan perwakilan alumni yang selalu diwakili oleh orang yang paling berhasil secara finansial dan mapan. Seakan-akan itu parameter keberhasilan sebuah almamater. Mereka diminta sambutan, dipuji-puji, dengan dalih memberi inspirasi kepada yang lainnya. 

Padahal saya juga punya cerita yang tak kalah inspiratif. Oke saya memang tidak sehebat teman-teman saya. Bagaimana piawainya saya mengatur keuangan keluarga dengan cara menyusun menu makan ekonomis di tanggal-tanggal tua atau membuat gorengan untuk dijual ke teman-teman kantor. Saya juga punya kompetensi negosiasi yang baik, karena sering saya terapkan dengan bapak kos saat belum bisa membayar uang bulanan tepat waktu atau dengan anak saya saat minta mainan seperti anak-anak sultan yang suka ada di youtube.

Bukan bermaksud mencari alasan atau pembenaran. Cuma mau bilang saja kalau orang gagal lebih fasih berbicara tentang kegagalan dan bagaimana bangkit dari kegagalan. Lebih mengena dan lebih inspiratif malahan.

Nah, kembali ke cerita saya di awal, setelah sekian lama patah hati karena artikel saya ditolak terbit oleh penerbit jurnal, saya juga refleksi donk. Setidaknya ada beberapa hal bodoh yang seharusnya saya hindari kalo mau submit artikel lagi. 

Misalnya tentang kemampuan Bahasa Inggris saya yang pas-pasan, tapi bernafsu masuk ke jurnal dengan kategori Q1. Itu bagai pungguk merindukan bulan, gaess. Cuma karena saking bodohnya saya, saya gak nyadar saat itu. Makanya saya ingin audien saya tidak mengulangi hal bodoh yang saya lakukan.

Saya juga terlalu pede dengan kebaruan penelitian saya. Saya merasa artikel saya memiliki novelty karena belum ada yang membahasnya. Ternyata saya tuh kurang jauh mainnya. Wkwkwk… Karena yang dibuka cuma satu directory saja. Padahal ada directory lain yang lebih besar dan terpercaya yang membahas lebih luas dan lebih dalam. 

Lagi, tentang referensi. Jurnal berreputasi juga concern dengan referensi yang dipakai dalam penulisan artikel. Saya asal aja ambil referensi dari mana saja yang penting sesuai dengan topik yang saya bahas. Padahal itu berasal dari jurnal-jurnal yang predatory atau yang sumbernya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Gimana reviewer mau ngelirik artikel kita kalo daftar pustakanya tidak update dan tidak kuat?. Hidup gak semudah itu, Ferguso.

Belum lagi jurnal-jurnal predatory yang ngaku-ngaku terrindex Scopus dan meminta APC (article processing charge) gedhe. Untuk orang-orang yang diujung tanduk harus lulus kuliah, pasti tertarik untuk membayar berapapun besarannya. Duit tinggal segitu-gitunya di tabungan, harus keluar untuk membiayai artikel yang ternyata sudah discontinued dari Scopus. Bener-bener gila bisnis publikasi ini.

Kalo yang menjadi narasumber adalah seorang Profesor, yang selalu tembus jurnal dengan kategori Q1 atau Q2, pasti yang diceritakan adalah hal-hal yang ideal. Hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang dengan standar yang sama dengan mereka. Kalo untuk kalangan menengah ke bawah dalam hal tulis menulis jurnal internasional, ya ujungnya Jaka Sembung bawa golok…hihihi.

Kan asik tuh kalo cerita-cerita konyol seperti saya diungkap dalam seminar atau pelatihan. Sebenarnya perih juga mengorek luka lama. Cuma buat apa disimpen, mending ditertawakan aja betapa bodohnya saya saat itu. Semoga audien saya bisa belajar dari situ dan tidak jatuh di lobang yang sama. 


Mufanti, R., Nimasari, E.P., & Gestanti, R.A, 2017, Can I Be A Public Speaker?, Ponorogo: CV. Nata Karya

Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/projection-of-graphs-on-screen-8761528/